Cerita Siti Geulima dan Legenda Dua Paya di Padang Tiji

Cerita dan Ilustrasi: Mikmilia Aziz

Cerita dan Ilustrasi: Mikmilia Aziz

Gadis langsing berkulit bersih itu memiliki sepasang mata yang indah memancarkan cahaya. Kelopak matanya dihiasi bulu-bulu lentik yang tumbuh serasi dengan alis mata yang tebal dan meruncing di kedua sisinya. Hidungnya mancung hampir serupa paruh nuri. Pipinya yang merona terpadu apik dengan bentuk bibirnya yang bagaikan sapuan garis sesenti pada kanvas si pelukis. Ah, tak dapat kujelaskan lagi dengan lebih
baik bagaimana cantik jelitanya gadis ayu yang hidup hanya dalam sebuah rumah panggung tanpa pernah memijakkan kakinya di
atas tanah. Semua kisah yang kudengar selalu menceritakan kesempurnaan fisik gadis jelita yang bernama Siti Geulima itu. Tapi, ada satu hal yang membedakan gadis-gadis kebanyakan dengan Geulima. Ia membiarkan rambut hitamnya tumbuh memanjang sampai melewati tumitnya. Rambut itu tergerai indah di atas lantai kala ia berjalan mondar-mandir dalam rumahnya, bagaikan seikat sapu lembut yang menggeseki lantai. Tentu hal ini tidak merepotkannya karena ia tidak pernah keluar rumah. Apalagi ibunya yang penyayang suka menyanggul rambut panjang gadis semata wayangnya itu dengan baik sehingga akan terlihat seperti bunga teratai yang mekar di atas pundak gadis nan rupawan itu.
    “Rambutmu akan sempurna pertumbuhannya saat kau sudah bersuami nanti, Geulima,” kata ibunya pada suatu sore yang bergerimis ketika dia baru selesai menyisir rambut panjang putrinya.
    “Apakah kau akan memotong pendek rambutmu ini?” selidiknya ingin tahu. Geulima menggelen-geleng perlahan.
    “Aku akan menjaganya sampai ajal menjemputku, Bu. Karena rambut yang panjang ini telah mengetahui rahasia hidupku semenjak aku bayi,” timpal Geulima dengan keyakinan yang teguh. Ibunya tersenyum kecil dan memeluk anak perempuannya itu dengan erat. Geulima balas mendekap tubuh kurus ibunya. Ada kesejukan yang melingkupi keduanya saat mereka saling berdekapan.
    Siti Geulima mewariskan darah bangsawan dari ibunya, Putri Ni, yang merupakan seorang putri raja. Tidak ada kabar yang jelas bagaimana kisah Putri Ni ini sampai dia hidup menyendiri, terasing dari keluarga kerajaan ayahnya.     Dia memilih hidup bersahaja seperti rakyat kecil pada umumnya. Dia menggantungkan hidupnya sehari-hari dari hasil bercocok tanam. Saat musim turun ke sawah tiba, dia pun ke sawah bersama warga lainnya. Begitu juga ketika tiba musim bertanam palawija, dia menggarap tanah dengan kegigihan seorang wanita sejati. Putri Ni telah meleburkan hidupnya sedemikian rupa sehingga tidak tersisa lagi tanda-tanda kebangsawanan yang melekat pada dirinya. Wajahnya yang dulunya lumayan cantik mulai terkikis termakan usia dan tergerus oleh kehidupannya yang keras. Namun, sisa-sisa kejelitaannya masih terbaca di wajah lelahnya itu. Perubahan itu tidak membuat dirinya berduka, malah menciptakan kegembiraan tersendiri di hatinya. Hanya satu hal yang acap kali mengusiknya, Geulima tak kunjung mendapatkan
suami. Padahal, sudah tak terhitung para pemuda yang bertamu ke rumahnya untuk mendapatkan hati gadis kesayangannya itu. Pemuda-pemuda lajang yang maju dengan gagah perkasa akhirnya harus mundur teratur karena mendapat penolakan  Geulima. Nampaknya tak satu pemuda pun yang mengena di hatinya walaupun mereka berasal dari beragam latar belakang keluarga.
    “Harus berapa lama lagi kamu akan terkurung di dalam rumah kita ini, Geulima?” Tanya ibunya pada suatu hari. Kecemasan terekam jelas pada raut wajah tirusnya. Geulima yang sedang menjahit baju kerja ibunya, serta-merta menghentikan pekerjaannya.
    “Coba sekiranya kamu menerima pinangan si Polem yang tak pernah jemu menyambangi rumah kita, pasti kamu sudah terbebas dari sumpah Ibu. Kamu akan dapat melihat dunia yang luas ini dan tidak terkurung lagi disini, di rumah kita,” sambung ibunya prihatin. Putri Ni menatap anak gadisnya dengan penuh kasih sayang dan berharap kata-katanya cukup mengena di hatinya. Geulima  lama terdiam. Ia tetap membatu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tak sengaja pandangannya tertuju ke ambang jendela. Dari kejauhan terlihatlah Polem, pemuda yang barusan disebutkan ibunya, tengah menatap padanya tak berkedip. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Polem tak pernah bosan dan tak pernah menyerah untuk mendapatkan cintanya. Pemuda itu selalu mencuri pandang, menatapnya dengan mata setajam silet. Ia tak kuasa melawan keperkasaan mata itu selain menghindarinya. Ia pun mengakui dalam hati bahwa Polem termasuk pemuda yang paling layak menjadi pilihan wanita. Betapa tidak, dia terlihat terpelajar dan berla
ku sopan. Ditambah lagi dengan ketampanannya yang sanggup menundukkan wanita dalam sekejap. Tapi, ia sadar cintanya bukan untuk pemuda itu.
    “Bu, aku rela duniaku seluas rumah kita ini apabila aku belum benar-benar menemukan jodohku,” tegasnya kemudian. Ia melirik ibunya yang terdiam dan kelihatan miris. Tapi sesaat kemudian ibunya kembali mencair. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang membuat Geulima lega.
    Putri Ni tidak ingin memaksa putrinya yang teguh menjunjung prinsipnya. Apa yang menjadi pilihannya kelak itulah pilihannya juga. Toh, yang mengarungi samudra kehidupan nanti adalah anak gadisnya sendiri, bukan dirinya. Malahan dia merasa bersalah telah mengucapkan sumpah semasa Geulima baru lahir yang mana anaknya itu tidak boleh menginjak tanah sebelum menikah. Ia berkata ... "Ya Allah, jika Engkau karuniai aku seorang anak perempuan, maka aku akan menjaganya sampai besar. Ia boleh menginjak tanah kalau sudah dipersunting oleh seorang lelaki,” ucapnya pada suatu masa. Saat itu dia dan suaminya tidak memperoleh seorang anak pun walaupun usia perkawinan mereka sudah terbilang lama. Tidak lama kemudian, dia mengandung. Memasuki usia kandungannya tujuh bulan, suaminya pun mangkat karena suatu penyakit yang dideritanya. Dia hanya bisa pasrah dan harus berjuang hidup seorang diri. Wanita itu hanya bisa berdoa agar ada seorang pemuda yang bisa meluluhkan hati putrinya sehingga ia akan terbebas dari kungkungan
dunia rumah mereka yang sangat kecil. Dengan begitu, dia telah membayar sumpahnya dan akan terbebas dari rasa bersalah yang sekian lama mendera jiwanya.
    Pucuk dicinta ulam pun tiba. Apa yang ditunggu-tunggu Putri Ni mulai mendatangkan hasil. Penantian panjangnya untuk mendapatkan jodoh anaknya mungkin akan segera berakhir. Adalah seorang pemuda bersahaja yang mengaku berasal dari negeri Antara telah menawan hati Geulima. Ia datang mengajukan lamaran pada putrinya. Dan Siti Geulima pun menerimanya. Tentu saja Putri Ni menyambutnya dengan penuh sukacita. Dia mengucapkan syukur tiada henti kepada Tuhan Yang Maha Mendengar atas karunia-Nya itu. Dia merasa belum cukup mengelukan-Nya meskipun telah bersimpuh dalam sujud panjangnya kepada Sang Pencipta. Ada keinginan lain yang timbul di hatinya untuk menjawab karunia Tuhan yang tercurah kepadanya. Putri Ni ingin mengadakan pesta perkawinan yang megah untuk anaknya sebagai rasa syukurnya kepada Tuhan.
    “Geulima, Ibu tidak memandang siapa bakal suamimu, apakah dia dari keluarga miskin atau kaya, bagi Ibu sama saja. Ibu hanya ingin bersyukur kepada Allah atas apa yang diberikan-Nya untukmu. Karunia-Nya ini harus dirayakan. Jadi, pesta perkawinanmu nanti akan Ibu selenggarakan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang banyak tamu. Bagaimana menurutmu?” Putri Ni meminta saran anak gadisnya. Geulima hanya mengangguk kecil sebagai isyarat persetujuannya.
    “Terserah Ibu saja, aku menurut,” katanya lirih.
    Baik Siti Geulima maupun ibunya tidak mengetahui kalau pemuda yang meminangnya itu sebetulnya seorang pangeran dari negeri Antara yang menyamar sebagai seorang pemuda miskin dengan pakaiannya yang kusut.
    “Saya berasal dari keluarga miskin. Kedua orang tua saya hanyalah petani kampung yang hidup serba kekurangan. Tak banyak harta yang saya miliki selain seekor kuda tunggangan dan selembar baju di badan ini,” kata pangeran itu kala memperkenalkan dirinya pada Putri Ni. Dia sengaja menyembunyikan identitasnya untuk menguji ketulusan gadis yang sangat memikat hatinya itu. Rahasia itu tertutup rapat-rapat. Dia menginginkan keadaan seperti apa adanya sampai tiba saatnya baginya untuk membuka rahasianya. Dan setelah berembuk dengan keluarga Geulima dan tetua kampung mengenai pesta perkawinan mereka, pangeran itu pun pulang ke negerinya dengan suasana hati yang berbunga-bunga. Dia ingin mengabari ayah bundanya secepatnya tentang keanggunan dan kecantikan Siti Geulima yang telah tersebar ke seantero negeri yang sesaat lagi akan menjadi permaisurinya itu. Pangeran muda itu merangkai sebuah pantun  saat dia sudah bersiap di atas pelana kudanya.
    “Oh, Ibu, kau akan bermenantukan gadis berambut panjang, cantik rupawan laksana kembang, bila kau tatap tidak akan bosan, pesonanya merayu memabukkan, manalah sanggup ananda bertahan, cepat sandingkan kami di pelaminan.”
    Lalu kuda itu pun melesat meninggalkan kampung Siti Geulima yang tenang.

    Waktu terurai dengan cepatnya. Dari Senin ke Minggu dan berbalik lagi ke Senin. Sementara itu suasana gembira senantiasa menyelimuti keluarga Siti Geulima yang tengah menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut pesta perkawinan gadis itu. Rumah panggung dan pekarangannya yang luas nampak lebih elok dari hari-hari biasa. Barang-barang tertata pada tempatnya.  Bunga-bunga di taman yang meninggi, dipangkas rapi. Dan hampir tiap hari Putri Ni menggelar tikar pandan besar di pekarangan rumah untuk menjemur padi-padi yang banyak. Setelah dijemur, padi itu langsung ditumbuknya dengan jeungki untuk persediaan makanan di saat pesta anak gadisnya nanti.
    “Geulima, Ibu merasa kita juga harus membuat gula aren untuk dibuat kudapan saat acaramu nanti. Apalagi persediaan air nira kita sudah habis, Ibu harus mengambilnya lagi. Bukankah kau sangat menggemari nira segar?” ujar Putri Ni sambil mengangkat ceret nira yang sudah kosong.
    “Ya, Bu, air nira memang sangat nikmat di kerongkongan,” sahut Geulima dengan senyum yang terkembang di wajah cantiknya. Geulima termasuk gadis penyuka nira semenjak ia masih kecil.
    “Nah, Ibu akan masuk ke hutan sebelah utara sana untuk menyadap aren. Semoga batang-batang bambu yang Ibu taruh kemarin sudah pada penuh. Tolong ambilkan timba di dapur juga, siapa tahu ceret ini tidak muat semua airnya,” tukas ibunya lagi. Geulima pun bergegas ke dapur untuk mengambil timba dari pelepah pinang buatan tangan ibunya.
    “Kau tunggui saja padi kita sebentar lagi, setelah Ibu pulang nanti akan Ibu masukkan ke dalam karung untuk ditumbuk,” pesan ibunya sebelum mengayunkan langkah ke hutan utara.
    Tinggallah Siti Geulima seorang diri menunggui padi dari hewan-hewan nakal pemakan padi. Sepotong galah panjang dipermainkannya ke sana kemari untuk menakut-nakuti unggas peliharaan ibunya. Tentu saja ia melakukannya dari atas rumah panggungnya sambil sesekali berpantun jenaka. Lama ia menghabiskan waktu seorang diri. Entah sudah berapa buah pantun yang telah meluncur dari bibirnya.
    Tiba-tiba datanglah sekawanan ayam yang muncul secara dadakan. Kawanan ayam itu mematuk padi dengan sangat rakus seperti sudah sebulan tidak memperoleh makanan. Geulima berusaha menghalau ayam-ayam itu dengan memukul-mukul tanah dengan galah panjang di tangannya itu.
    “Hus! Hus! Husss!” pekiknya dari atas rumah panggungnya. Ia mengusir ayam-ayam itu dengan sekuat tenaganya. Anehnya, ayam-ayam itu tak bergeming dan makin rakus mematuk biji padi.
    “Husss!!! Pergilah kalian ayam rakus! Jangan ganggu padi kami di jemuran!” teriaknya bernada geram. Tapi, jangankan pergi, ayam itu malah bertambah banyak. Geulima terkejut seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dengan geram dilemparilah galah panjang di tangannya ke arah ayam-ayam yang entah dari mana datangnya itu. Ia terkejut bukan kepalang, sekarang ayam-ayam itu berjumlah dua kali lipat.
    “Enyahlah kalian ayam jahat! Berhentilah memakan padiku! Husss! Husss!!!” teriaknya parau dan terdengar putus asa. Tapi, ayam-ayam itu tidak peduli sama sekali dan terus mematuk padi dengan rakusnya. Setiap saat jumlah mereka semakin bertambah banyak sampai jemuran padi itu berubah menjadi tumpukan ayam yang saling berdesakan, berlomba-lomba mengunyah butiran padi gurih yang dijemur Geulima.
    Kesabaran menjadi ujian yang terberat bagi gadis yang sedang berjuang menyelamatkan padinya itu. Dinding-dinding kokoh yang ditanamkan ibunya semenjak ia masih kecil mulai goyah. Penyekat antara sumpah ibunya dan keinginannya menginjak tanah untuk menghalau ayam-ayam pengganggu itu kian menipis. Ia sudah mencoba bertahan dengan melempari ayam-ayam itu dengan kayu bakar di dapur, tapi usahanya sia-sia belaka. Dan ketika ayam-ayam itu sudah menghabiskan sebagian besar padinya, akal dan emosinya tidak sanggup lagi membendung kemarahan yang menyala di hatinya. Geulima pun cepat meluncur ke bawah melalui tangga kayu yang belum pernah ia sentuh sebelumnya.
    Bumi mendadak mendung saat kaki Siti Geulima telah sempurna menyentuh tanah. Tak lama kemudian halilintar menyambar-nyambar di tepi langit. Angin kencang menderu-deru seperti ingin menerbangkan segala sesuatu yang menghalanginya. Tanah pun bergetar dengan hebatnya. Gadis itu terkesima beberapa saat. Dilihatnya ayam-ayam yang tadi mengganggu padinya menghilang secara tiba-tiba. Kini yang tersisa hanya hamparan padinya yang beterbangan diembus angin kencang. Ia pun menjerit ketakutan saat tanah di kakinya berubah menjadi lumpur yang menariknya masuk ke dalam. Ia meronta-ronta berusaha melepaskan dirinya dari dekapan tanah yang terus menyeretnya semakin dalam.
    “Ibu… ! Tolooong…! Tolooong…!!!” teriaknya sekuat tenaga saat dirinya sudah terbenam sebatas pinggang. Tapi suaranya memantul kembali ke arahnya. Artinya, sekelilingnya itu telah terkunci secara gaib. Ada sekat tak kasatmata yang menahannya dari dunia luar. Ketika lumpur itu hampir membenam seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan kepalanya saja, sekonyong-konyong muncullah sesosok jin yang buruk rupa. Matanya merah menyala-nyala. Biji matanya yang besar melotot keluar, seakan mau melesat dari kelopaknya. Dua gigi taring tersembul di kedua sisi mulutnya yang lebar. Kepala botaknya yang retak mengeluarkan darah hitam berbau amis. Derai tawanya membahana memecah keguncangan yang mendera Geulima.
    “Ha ha ha… rasakan pembalasanku gadis sombong! Kau telah menolak lamaranku. Kau telah memilih pria lain untuk kaujadikan suamimu. Kau harus kuhancurkan, Geulima, karena kau telah menyakiti hatiku. Ha ha ha ha…!”
    Tiba-tiba jin itu berubah wujud menjadi seorang pemuda tampan yang sudah sangat Geulima kenal. Pria yang tidak pernah berhenti mengharap cintanya. Pria yang selalu mencuri pandang padanya dengan tatapan setajam silet. Dialah Polem! Sadarlah Geulima kalau ayam-ayam yang muncul secara tiba-tiba itu sebenarnya makhluk jadia-jadian yang sengaja diciptakan Polem untuk menjebaknya turun dari rumahnya. Kini, tidaklah berguna sesal yang datangnya sudah sangat terlambat. Geulima pasrah dengan apa yang telah menimpanya. Ia telah melanggar sumpah ibunya dan harus menerima hukuman yang akan mengakhiri hidupnya itu.
    “Tuhan, apunilah aku,” rintihnya pilu.
    Akhirnya, ia dan rumah panggungnya itu lenyap ditelan lumpur yang bergejolak. Sesaat kemudian dunia pun tenang seperti sediakala. Mendung yang menghitam sudah tergantikan dengan terik siang yang membakar. Tidak terdengar lagi suara gelegar halilintar yang menyambar. Tidak ada lagi lumpur hidup yang mematikan. Tidak ada lagi rumah panggung Siti Geulima dengan pekarangannya yang luas. Yang tertinggal hanyalah rawa-rawa luas yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan air. Mulai dari enceng gondok sampai pakis hutan tumbuh subur di sana. Sekarang daerah itu dikenal dengan sebutan Paya Rhob. Dalam bahasa Aceh, rhob atau rhub bermakna tanah becek yang tidak pernah kering.

    Sementara itu Putri Ni yang sedang menderes aren di sebuah bukit bagian utara tiba-tiba dihinggapi kecemasan yang mendalam. Ingatannya selalu tertuju kepada anak gadisnya. Ada perasaan tak enak yang terus-menerus bersemayam di hatinya. Walaupun pekerjaannya menderes nira belum selesai, dia bermaksud turun dari pohon aren. Dia ingin cepat pulang menemui Geulima. Ketika kakinya sudah menyentuh tanah, tiba-tiba pohon aren itu bergetar hebat seperti diguncang oleh tangan raksasa. Tanah di kakinya berubah menjadi lumpur basah yang menyerap dirinya dan pohon aren masuk ke dalamnya. Sekonyong-konyong muncullah jin jahat yang sebelumnya menampakkan dirinya pada Siti Geulima. Derai tawanya yang panjang semakin membuat Putri Ni ketakutan.
    “Ketahuilah Putri, anakmu, Geulima, telah binasa karena melanggar sumpahmu. Semua ini kesalahanmu karena kaujodohkan dia dengan pria lain. Padahal, akulah satu-satunya pria yang paling layak menjadi pendamping hidupnya,” teriaknya lantang. Putri Ni yang tidak dapat memahami maksud jin jahat itu hanya melongo ketika wujud jin itu berubah perlahan-lahan. Kini wajah buruknya telah terganti dengan wajah seorang pemuda tampan yang sangat dia kenali. Polem! Pria yang tak pernah lelah mengharap cinta putrinya.
    Putri Ni pun sadar apa yang telah terjadi. Dia hanya menangis sedih seraya meminta ampunan kepada Tuhan atas apa yang telah terjadi pada anak gadisnya. Lumpur yang haus itu pun membenam tubuhnya sedikit demi sedikit sampai sebatas lehernya. Dengan suara yang tercekat di kerongkongan, dia bergumam untuk ke terakhir kali, “Geulima... maafkan ibumu.” Lalu wanita malang itu lenyap untuk selama-lamanya. Namun, ceret untuk menampung air nira yang ada dalam genggaman tangannya terlepas sehingga tidak ikut terbenam. Sekarang di daerah itu telah terbentuk sebuah kolam di atas bukit. Masyarakat setempat menamakannya dengan Paya Ceuriek. Ceuriek dalam bahasa Aceh bermakna ceret. Secara bebas, arti Paya Ceuriek adalah rawa-rawa yang ada ceretnya.
    Konon, pada saat-saat tertentu, ceret ibundanya Siti Geulima kadang-kadang kelihatan ke permukaan. Ceret itu terapung-apung di tengah kolam Paya Ceuriek yang terkenal itu. Hal yang sama juga terjadi di Paya Rhob, tempat Siti Geulima mengembuskan nafasnya yang terakhir. Pada saat-saat tertentu, atap rumah panggungnya muncul ke permukaan di tengah-tengah rawa. Atap rumah itu terlihat utuh seperti sediakala. Satu hal lagi cerita yang paling unik tentang Paya Rhob ini. Kata orang, tanah yang diambil di sekitar rumah Siti Geulima yang tenggelam mengandung keanehan tersendiri. Segumpal tanah yang diambil di sana dan ditaruh di bawah bantal akan membuatmu didatangi Siti Geulima dalam mimpimu. Tapi, terlebih dahulu harus kautanam tekad yang kuat  bahwa kau ingin melihat sosoknya dalam tidurmu. Walaupun terdengar konyol, aku ingin membuktikannya suatu saat nanti. Mudah-mudahan aku akan memimpikan gadis berambut panjang yang kisahnya sangat menyentuh hatiku itu.*SELESAI*
   
    Catatan: Jeungki adalah alat tradisional Aceh untuk menumbuk padi atau tepung. Sampai saat ini jeungki masih digunakan oleh sebagian masyarakat pedesaan di Aceh.


Baca Juga:


0 Comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan Anda, tetaplah membaca artikel selanjutnya.